Pada zaman dahulu kala, ada seorang saudagar
bernama Saudagar Jantam di sebuah negeri bernama Sila Negara di Negeri Keling.
Dia mempunyai lima orang anak, tiga orang anak laki-laki dan dua orang anak
perempuan. Masing-masing bernama Saudagar Mangkubumi anak yang tertua, Saudagar
Keling anak kedua, Dewi Kumala Rawan puteri ketiga, Dewi Sri Jaya puteri
keempat dan Empu Jatmika putra yang bungsu. Dewi Kumala Rawan bersuamikan Nabi
Haidir, Dewi Sri Jaya bersuamikan Raja Iskandar dan Empu Jatmika beristerikan
adiknya Raja Iskandar, Dewi Sekar Gading..
Raja Iskandar adalah anak Raja Darap yang
berkebangsaan Rum (Romawi) dengan negaranya bernama Makodonia. Raja Iskandar
bergelar Zulkarnain, dan menurut Nabi Haidir, Raja Iskandar Zulkarnain diserahi
oleh Allah Swt kerajaan dunia ini dari Barat sampai ke Timur.
Nabi Haidir ternyata mempunyai isteri lagi
yakni seorang puteri raja dari kerajaan bawah laut bernama Dewi Kesuma Sari.
Kerajaan bawah laut itu bernama kerajaan Gumilang Kaca dan rajanya bernama
Betara Bangga Raja. Sedangkan Raja Iskandar Zulkarnain juga mempunyai isteri
yang lain, yakni seorang putri dari negeri kayangan, di alam keindraan yang
tinggal di dalam Goa Madu Cahaya yang bernama Dewi Kesuma Jaya.
Menurut cerita Saudagar Jantam adalah seorang
yang sangat terkenal dengan kekayaan serta kedermawanannya pada masa itu. Harta
kekayaannya berupa beratus-ratus gedung penyimpanan harta yang terdiri dari
intan permata, yakut, zambrut, nilam baiduri dan berbagai permadani dan kain
sutra dewangga.
Pada suatu hari Saudagar Jantam mengumpulkan
semua anak-anaknya untuk memberikan wasiat pembagian harta. Kepada ketiga
puteranya dia memberikan masing-masing tujuh puluh gedung berisi harta. Sedangkan
untuk kedua putrinya dia memberikan sisanya setelah untuk Saudagar Jantam dan
isterinya sendiri mengambil sepuluh gedung berisi harta. Pesannya apabila dia
dan isterinya meninggal dunia, maka keseluruhan bagian hartanya agar
disedekahkan kepada fakir miskin, sekalian ulama dan pendeta serta seluruh
rakyat.
---oo00oo---
Syahdan, selama di negeri Keling, Nabi Haidir setiap hari kerjanya hanya keluar masuk hutan. Pagi-pagi sekali berangkat ke dalam hutan dan sore harinya baru kembali ke rumah. Sebagai sesama menantu, Raja Iskandar heran melihat kelakuan saudara maruainya ini, maka dia pun bertanya kepada isteri Nabi Haidir, “Kaka Dewi Kumala, apakah yang dilakukan Kang Mas Nabi Haidir setiap hari masuk dan keluar hutan ? Sepertinya Kang Mas tidak sedang berkebun, pulang ke rumah tidak ada yang dibawa.” Dewi Kumala Rawan menjawab bahwa ia pun tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh suaminya, Nabi Haidir di dalam hutan.
Apabila Nabi Haidir pulang pada tiba dari hutan, maka pada malam harinya Raja Iskandar belajar ilmu agama kepada Nabi Haidir. Lama kelamaan pengetahuan ilmu agama Raja Iskandar pun semakin lengkap dan sempurna, dari ilmu syariat agama sampai ilmu laduni. Maka jadi alimlah Raja Iskandar akan segala ilmu dan hukum dunia dan akhirat.
Rupanya Nabi Haidir tahu pertanyaan dalam hati
Raja Iskandar akan tingkah lakunya yang sering keluar-masuk hutan setiap hari
itu. Untuk menjawab pertanyaan Raja Iskandar itu, pada suatu hari Nabi Haidir
mengajak Raja Iskandar ikut bersamanya masuk ke dalam hutan. Di sana ia
menunjukkan kepada Raja Iskandar apa saja yang selama ini disembunyikannya di
dalam hutan. Terkejutlah bukan alang kepalang Raja Iskandar setelah mengetahui
isi kandang milik Nabi Haidir yang terdapat di dalam hutan itu. Ternyata kandang
itu penuh berisikan intan permata, batu yakut, zambrut dan nilam baiduri. Dan
kandangnya itu sendiri kelilingnya sejauh perjalanan satu hari !
Setelah hari telah menjelang malam, maka
pulanglah Nabi Haidir dengan Raja Iskandar ke rumahnya masing-masing. Setibanya
di rumah berkatalah Nabi Haidir kepada Raja Iskandar, “Kalau bukan yang
empunya, tidak akan tahu dan tidak akan sayang.” Raja Iskandar mendengar dan
memikirkan makna ucapan Nabi Haidir yang sangat dalam itu.
---oo00oo---
Menurut cerita di pulau Borneo (Kalimantan) ada sebuah kerajaan yang sangat besar bernama Kuripan Jaya. Negeri yang terletak di pinggir Gunung Malang ini mempunyai banyak negeri taklukan. Rajanya bernama Ratu Bangsawan yang mempunyai dua orang anak perempuan yang masing-masing bernama Puteri Chandra Dewi dan Puteri Sekar Ratna.
Kerajaan Kuripan Jaya mempunyai 12 (dua belas) orang menteri dan hulubalang, yaitu :
1. Raden Arya Tumandang Nata.
2. Raden Arya Manguntara.
3. Patih Pasya, orang yang asal bisa membaca
dan menulis.
4. Patih Luhu.
5. Patih Pambalah Batung.
6. Patih Panimba Sugara.
7. Patih Paruntun Manau.
8. Patih Gancang Basaru.
9. Patih Bajagat.
10.Patih Kariyau.
11.Patih Buntal.
12.Patih Bagalung.
Di tepian negeri Kuripan Jaya ada sebuah negeri bernama Muara Umur. Di sana hidup seorang tua bernama Patih Arya Marangkan yang mempunyai seorang anak perempuan bernama Dayang Dipraja. Patih Arya Marangkan mempunyai 7 (tujuh) saudara lagi, yakni Patih Tiju, Patih Bajanggut, Patih Batungkat, Patih Luyuh, Patih Pangunjang, Patih Lukah dan Patih Arya Tadung Wani.
Semua kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Kerajaan Kuripan Jaya berada di bawah taklukan Ratu Kuripan. Kerajaan-kerajaan itu antara lain :
A. Kerajaan Batung Batulis dengan rajanya Raden
Sunting Laut dengan dua orang patihnya, yakni Patih Jungkiring dan Patih
Gurincing.
B. Kerajaan Ratu Pudak Satagal dengan rajanya
Raden Pudak Satagal yang mempunyai 24 (dua puluh empat) orang anak. Semua
anak-anaknya ini gagah perkasa dan sakti mandraguna, mempunyai aji-aji
kesaktian, ada yang bisa jadi gerua (beruang ?), tadung (sejenis ular kobra),
macan, menjelma jadi api, ada yang bisa menghilang dan ada juga yang bisa hidup
di dalam air.
Adapun cucu-cucunya adalah :
1. Raden Wirun
2. Raden Andaga
3. Raden Perbata Sari
4. Raden Karta Wirya
5. Raden Surabayu
6. Raden Gangga Wisna
C. Kerajaan Gegiling dengan rajanya Gegiling mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Puteri Gading Sepurus. Sedangkan menteri-menteri dan hulu balangnya adalah :
1. Patih Guruh.
2. Patih Guntur.
3. Patih Kilat.
4. Patih Barat.
5. Patih Macan.
6. Patih Tadung.
D. Kerajaan Batung Baparada, yang diperintah oleh patih-patih saja, yakni :
1. Patih Pemarung.
2. Patih Jampung.
3. Patih Bajagat.
4. Patih Ambung.
5. Patih Dambung.
Kalau diceritakan semua kerajaan taklukan yang berada di bawah kekuasaaan Ratu Kuripan Jaya terlalu panjang ceritanya, karena kerajaan yang takluk di bawah kerajaan Kuripan Jaya kurang lebih 39 (tiga puluh sembilan) kerajaan dan semuanya anak-anak raja juga.
Syahdan, di gunung Tengkiling tinggalah seorang
tua bernama Niang Bungkiling dengan seorang anaknya yang bernama Indang
Sijarang. Pekerjaannya berdagang, berkebun talas, ubi, pisang dan
bermacam-macam buah-buahan seperti langsat, manggis, kapul, rumbai dan
lain-lainnya.
---oo00oo---
Kembali ke cerita awal tentang keluarga
Saudagar Jantam di negeri Keling. Empu Jatmika menuntut harta warisan
peninggalan ayah-bundanya kepada kakak-kakaknya. Permintaan tersebut tidak
dihiraukan oleh kakaknya yang laki-laki, sehingga gusarlah Empu Jatmika. Empu
Jatmika melarikan diri dari rumah pada tengah malam bersama-sama dengan isteri
dan keluarganya sekalian dengan menaiki beberapa buah perahu lengkap dengan
perbekalan menuju arah matahari terbit.
Singkat cerita perjalanan Empu Jatmika
sekeluarga berperahu, tibalah mereka di pulau muara Banjarmasin. Dari sana
mereka menuju Bakumpai dan terus masuk ke pedalaman sampai di Marampiau lalu
berhenti di sana. Empu Jatmika kemudian menyuruh kedua orang patihnya yang bernama
Patih Nala Ginggung dan Patih Sidampalun untuk memeriksa sebuah pulau yang ada
di depan mereka. Kedua patih kemudian menaiki pulau itu, menggali dan mengambil
segenggam tanahnya lalu dibawakannya segenggam tanah itu ke hadapan Empu
Jatmika, dan dirasakannya bahwa tanah itu cukup panas.
Kemudian Empu Jatmika memerintahkan agar semua
pokok-pokok kayu yang terdapat di atas pulau itu untuk ditebangi karena Empu
Jatmika berencana menjadikan pulau itu sebagai tempat tinggal. Setelah semua
keluarganya ikut bekerja menebangi semua pohon kayu di pulau itu selama
beberapa minggu, maka sejauh mata memandang tampaklah padang luas terbentang.
Empu Jatmika pun memerintahkan lagi kepada kedua patihnya dan sanak keluarganya
untuk membuat beberapa bangunan rumah tinggal serta sebuah candi yang sangat
indah buatannya di tengah-tengah pulau sebagai tempat memuja Yang Maha Kuasa.
Setelah rampung semua pekerjaan yang
dilaksanakan oleh Patih Nala Ginggung dan Patih Sidampalun dengan
bergotong-royong bersama semua anggota keluarga, selama beberapa waktu siang
dan malam, maka dinamailah kampung baru yang dibangun itu dengan nama Candi
Laras.
Tak terasa hari berganti hari, bulan berganti
bulan Empu Jatmika, patih dan keluarga mendiami kampung baru itu, tiba-tiba
pada waktu tengah malam datanglah berita ghaib yang memerintahkan kepadanya
untuk pulang ke hulu sungai. Dikabarkan bahwa di sana, di belakang kerajaan
Kuripan Jaya terdapat tanah yang panas lagi berbau harum dan ditakdirkan bahwa
Empu Jatmika akan mendirikan kerajaan besar di sana dan mempunyai harta yang
berlimpah.
Siang harinya Empu Jatmika mengumpulkan segenap
orang-orang tua dan menceritakan ilham yang diterimanya tadi malam. Dan sebagai
keputusannya Empu Jatmika akan berangkat besok hari, sedangkan yang ditugaskan
menunggu Candi Laras adalah Patih Nala Ginggung dan Patih Sidampalun beserta
semua keluarganya sebanyak 40 orang.
Keberadaan Empu Jatmika di muara sungai sudah
terdengar di keraton Kuripan Jaya. Oleh Ratu Kuripan disuruhlah Patih Luhu
untuk menyongsongnya ke muara sungai. Empu Jatmika sendiri sedang sibuk
mempersiapkan keberangkatannya ketika utusan Ratu Kuripan, Patih Luhu, sudah
datang di Candi Laras. Maka disambutlah kedatangan utusan oleh Empu Jatmika dan
Nala Gingging ke muara Balai Longsari dan kemudian disuruh masuk ke dalam balai
pertemuan. Diadakan acara adat penyambutan orang besar di sana.
Esok harinya Empu Jatmika bersama dengan Patih
Luhu beserta, utusan dari keraton Kuripan Jaya, bersama dengan pengawal
secukupnya berangkat dengan menggunakan beberapa buah perahu menuju hulu
sungai. Setelah berlayar beberapa hari lamanya, maka sampailah rombongan ke
kerajaan Kuripan Jaya, lalu Empu Jatmika dibawa naik oleh Patih Luhu untuk
menghadap raja.
Empu Jatmika membawa beberapa buah tangan
berupa bingkisan yang dibawanya dari negeri Keling sebagai hadiah bagi raja.
Lalu diberikannya bingkisan itu kepada Ratu Kuripan dan disampaikannya
permintaannya agar diberi tanah atau wilayah karena hendak ikut berdiam di
negeri itu. Oleh Ratu Kuripan permintaan Empu Jatmika dikabulkan dan dia diberi
sebuah negeri di seberang negeri Kuripan Jaya.
---oo00oo---
Kisah Patih Lembu Mangkurat dan anak angkatnya
Putri Junjung Buih atau Putri Galuh Cipta Sari
Setelah menerima hadiah sebuah daerah
kekuasaan, Empu Jatmika pun meninjau daerah baru tersebut. Disuruhnya anak
buahnya memeriksa keadaan tanah pulau itu dan ternyata tanahnya panas dan lagi
berbau harum. Kemudian disuruhnya ditebangi pohon-pohon di atas pulau itu dan
ditinggikannya tanah dibagian tengah pulau sehingga membentuk sebuah bukit. Di
sana dibuatkannya tujuh buah rumah besar-besar, cukup kamar-kamarnya dengan
segala kelengkapannya. Selain itu dibangunnya sebuah candi yang sangat indah
bertingkat-tingkat, dindingnya terbuat dari perak, gangsa dan berukir-ukir
dengan sangat indahnya. Atapnya sendiri terbuat dari kaca hablur dan dihiasi
dengan sampiran lambaian kain sutera Dewangga dengan berbagai macam corak ragam
dan warnanya. Di puncak candi itu dihiasi dengan batu Kumala yang cahayanya
berkilauan terpancar ke udara. Siapa saja yang melihatnya pasti takjub dan
terheran-heran karena keindahan pancarannya.
Negeri baru yang dibangun oleh Empu Jatmika di
wilayah kerajaan Kuripan Jaya itu kemudian diberi nama Candi Agung Negara Dipa.
Kemudian seluruh keluarganya, Dewi Sekar Gading isterinya beserta seluruh
keluarga kerabatnya diajak mendiami negeri baru itu. Tak berapa lama Empu
Jatmika dikarunia oleh Yang Maha Kuasa tiga orang anak, dua orang laki-laki dan
seorang anak perempuan, yakni : Lembu Jaya Wunagiri, Lembu Mangkurat dan Dewi
Keriang Bungsu.
Ketiga anak Empu Jatmika kemudian dikawinkan,
masing-masing Lembu Jayawunagiri beristrikan Puteri Candra Dewi, anak Ratu
Bangsawan, Lambung Mangkurat beristri Dewi Sekar Ratna, juga anak Ratu
Bangsawan, adik dari Puteri Candra Dewi isterinya Lembu Jayawunagiri. Istilah
peribahasa “Marampak paring sarapun” yang berarti kakak dengan kakak, dan adik
dengan adik.
Sedangkan adik mereka yang bungsu, Dewi Keriang
Bungsu bersuami dengan Raden Onbak Gintuya, anak seorang raja dari negeri Cina,
yang berkepala botak dan rambutnya berkuncir. Namun nama negerinya tidak
disebutkan.
Raja Kuripan kemudian menyerahkan kekuasaan
wilayah kepada kedua anak Empu Jatmika, yakni kekuasaan di Kahuripan Jaya
diserahkan kepada Lembu Jayawunagiri dengan gelar Patih Mandastana, sedangkan
kekuasaan di Candi Agung Negara Dipa diserahkan kepada Lambung Mangkurat.
Anak Raja dari Cina, Raden Onbak Gintuya,
suaminya Dewi Keriang Bungsu adik Lambung Mangkurat, meminta ijin kepada
mertuanya, Empu Jatmika, untuk kembali pulang ke negerinya, Cina, dengan serta
membawa istrinya. Sedangkan anak buahnya yang terdiri dari empat puluh orang
Cina yang ahli dalam pertukangan bangunan, membuat patung, ukir-mengukir segala
emas-perak, gangsa, kuningan dan tembaga tetap tinggal di Candi Agung Negara
Dipa.
Empu Jatmika kemudian berpesan kepada anaknya,
Dewi Keriang Bungsu, agar nantinya pulang kembali ke Candi Agung Negara Dipa
pada saat diadakan Radap Sasajen atau haul tahunan dengan membawa bermacam-macam
barang pecah-belah sebagai alat persediaan acara tahunan itu. Dari yang
berukuran besar sampai yang kecil disertai juga alat permainan anak-anak
seperti belanga, jambangan, dukun, kendi, gadur, cirat, kucut dan guci. Begitu
juga berbagai macam piring, cawan, cangkir, mangkuk dan ciciri, lengkap dari
yang besar sampai yang kecil. Ditambah lagi bokor, sesanggan, lancang tempat
menginang, peludahan, talam, apar, baki, senduk, wancuh, tatudung, payung,
cermin, boneka. Pendek kata semua alat permainan anak-anak di dalam keraton.
---oo00oo---
Syahdan, Lembu Jayawunagiri sudah lama tidak mendapatkan keturunan. Ia lalu meminta dibuatkan tujuh buah ketupat untuk bekalnya bertapa di Gunung Malang (Kandit Barayung). Setelah disediakan berbagai macam perbekalan untuk bertapa, maka berangkatlah Lembu Jayawunagiri naik ke atas puncak gunung itu, lalu duduk bersila ke arah matahari terbit dengan membakar dupa astanggi serta membaca doa puji-pujian terhadap Dewa Mulia Raya agar permohonannya untuk memiliki anak dikabulkan.
Kembali ke cerita Raja Iskandar, iparnya Empu
Jatmika, yang mempunyai isteri kedua seorang dari alam keindraan, di wilayah
Kayangan Surga Laya Surga Loka yang diperintah oleh Sangiang dan para Betara,
yakni Betara Bisnu (Betara Wisnu ?), Betara Guru dan Panji Nerada.
Ketika Raja Iskandar ingin kembali ke dunia untuk menemui isterinya Dewi Sri Jaya, kakak Empu Jatmika, dia berpesan kepada istrinya Dewi Kesuma Jaya, anak Betara Bisnu yang tinggal di Surga Laya, di Gunung Madu Cahya beserta mertuanya, kalau anaknya lahir dari rahim Dewi Kesuma Jaya dan ternyata mempunyai wajah tidak sama dengan orang pada umumnya supaya dibuang saja ke dunia.
Ketika Raja Iskandar ingin kembali ke dunia untuk menemui isterinya Dewi Sri Jaya, kakak Empu Jatmika, dia berpesan kepada istrinya Dewi Kesuma Jaya, anak Betara Bisnu yang tinggal di Surga Laya, di Gunung Madu Cahya beserta mertuanya, kalau anaknya lahir dari rahim Dewi Kesuma Jaya dan ternyata mempunyai wajah tidak sama dengan orang pada umumnya supaya dibuang saja ke dunia.
Tak beberapa lama genaplah usia kandungan Dewi
Kesuma Jaya dan lahirlah seorang anak manusia yang sangat aneh, badannya
berlipat-lipat, kepalanya dua dan tangan serta kakinya masing-masing berjumlah
empat buah. Menangislah Dewi Kesuma Jaya melihat keadaan anaknya yang tidak
sama dengan keadaan umumnya anak manusia. Kakek anak itu, Betara Bisnu,
teringat dengan pesan menantunya, Raja Iskandar, lalu diambilnya anak yang baru
lahir itu, dibawanya terbang sambil diremuk-remukannya badannya, dijadikannya
kembang sekaki, tangkainya satu sulaganya dua, dan digugurkannya ke dunia.
Kemudian dikenal dengan nama Kembang Putama atau Cendera Perawangi.
Kembali kepada tapanya Lembu Jayawunagiri alias
Patih Mandastana, penguasa di Kahuripan Jaya yang sangat ingin mempunyai anak
keturunan. Setelah genap tapanya selama seminggu, ia pun kejatuhan kembang
sekaki dari langit, lalu disambutnya dan dibawanya pulang. Diperintahkannya
isterinya untuk memakai kembang itu dan tidak beberapa lama kemudian maka
buntinglah isterinya.
Setelah cukup hitungan bulan dan harinya, maka
lahirlah anak kembar laki-laki dari perut Puteri Cendra Dewi isteri Lembu
Jayawunagiri, yang pertama bernama Bambang Patma Raga dan yang adik bernama
Bambang Sukma Raga.
---oo00oo---
Syahdan Lambung Mangkurat pun bertapa juga dengan menaiki rakit yang terbuat dari batang pohon pisang saba. Sambil berbaring di atas rakit itu dengan alas selembar daun pisang serta selembar daun lagi menutupi badannya, Lambung Mangkurat berakit mengikuti arus air sungai dari muara Tabalong hingga sampai ke muara sungai Ulak. Di muara Ulak rakit batang pisang itu pun berhenti.
Kembali ke cerita Nabi Haidir yang mempunyai
isteri kedua seorang perempuan penghuni negeri Gumilang Kaca yang merupakan
negeri bawah laut. Nama isterinya itu adalah Dewi Kesuma Sari, anak dari Betara
Gangga. Ketika Nabi Haidir hendak pulang kembali ke dunia, dia berpesan kepada
isteri dan mertuanya, apabila anaknya lahir dari rahim Dewi Kesuma Sari
mempunyai wajah yang tidak sama dengan umumnya anak manusia maka lebih baik
dibuang ke dunia saja.
Tidak berapa lama setelah cukup umur
kandungannya, maka lahirlah anak Dewi Kesuma Sari, bentuknya bulat seperti buah
semangka dan diberi nama Puteri Jenggala Kediri. Ketika dilihat olehnya anak
itu bentuk dan rupanya tidak sama dengan anak manusia kebanyakan, maka
menangislah Dewi Kesuma Sari. Mendengar hal itu, sang kakek Betara Gangga
teringat akan pesan menantunya, Nabi Haidir, lalu diambilnya anak yang baru
lahir tersebut lalu dibawa pergi dan dibuangnya ke dunia.
Singkat cerita ada seorang tua hendak mengambil
air di tepian sungai di gunung Tengkiling. Tiba-tiba dilihatnya ada seorang
anak bayi terbaring di atas pasir di tepian Niang Bungkiling, diambilnya lalu
dibawa masuk ke dalam rumah. Dipanggilnya anak itu dengan nama Galuh Cipta
Sari.
Tidak berapa lama semakin besarlah Galuh Cipta
Sari dalam pemeliharaan si orang tua. Pada suatu hari, layaknya anak-anak,
Galuh Cipta Sari sering mandi di sungai di tepian niangnya, sampai berenang ke
tengah-tengah sungai. Kegiatan itu dilakukannya setiap hari. Betara Gangga,
raja kerajaan bawah air, kemudian menyuruh Naga Putih untuk menghancurkan gua
tempatnya tinggal di bawah air. Ketika sedang asyiknya Galuh Cipta Sari
berenang-renang dan menyelam ke dalam air, si Naga Putih menghancurkan gua
tempat tinggalnya sehingga pecah, maka keluarlah air bah yang sangat deras ke laut.
Galuh Cipta Sari pun gelagapan melihat ada air bah yang sangat deras. Oleh Naga
Putih dia diusung dan dibawa berangkat ke muara ulak, tempat Lambung Mangkurat
sedang bertapa.
Betapa kagetnya Lambung Mangkurat melihat banyak air di hadapannya berbuih-buih putih dan tiba-tiba terdengar suara anak-anak minta dijemput. Oleh Lambung Mangkurat diraih dan dibukanya tutup yang melindunginya, lalu terdengarlah suara anak-anak dari dalam buih itu. Anak kecil yang bertelanjang itu pun berkata minta dibuatkan Mahligai Punca Persada dengan tiangnya terbuat dari Batung (sejenis kayu) dan membikinnya tidak boleh menggunakan peralatan dari besi.
Adapun nama keempat batung itu adalah :
-Batung Batulis
-Batung Baduri
-Batung Badarah
-Batung Baperada, sedangkan tempatnya berada di gunung Umbak Batu Piring dan dijaga oleh dua orang suami isteri yang bernama Patih Renggana. Sedangkan membuat sarungnya hanya satu hari. Demikian permintaan dari Galuh Cipta Sari kepada Lambung Mangkurat.
---oo00oo---
Lambung Mangkurat lalu pulang ke rumah menceritakan hasil pertapaannya kepada kalangannya. Berkumpullah segala menteri, hulu balang, patih-patih, dayang-dayang, inang pengasuh serta seisi keraton Candi Agung dan Kuripan Jaya. Disampaikannya semua permintaan Galuh Cipta Sari dan dibagi-bagilah tugas siapa-siapa yang sanggup mengambil Batung dan membikinnya, dan siapa yang akan membuat sarungnya.
Adapun yang menyanggupi untuk membikin mahligai
adalah :
-Patih Luwu
-Patih Luhu
-Patih Pembalah Batung
-Patih Penimba Sugara
-Patih Peruntun Manau
-Patih Gancang Basaru
Ceritanya, ketika sampai di gunung Umbak Batu
Piring, Patih Luwu dan Patih Pambalah Batung langsung mencabut batungnya.
Keduanya membawa batung itu sampai melompati kampung sampai berhenti di Bumi
Kencana, lalu membawa pulang batung ke Candi Agung.
Sedangkan Patih Luhu, Patih Penimba Sugara,
Patih Peruntun Manau dan Patih Gancang Basaru berdiri di seberang sungai Umbak
Batu Piring sambil memegang Caramin Cangan (sejenis cermin). Dimaksudkan siapa
saja yang memandang ke dalam cermin itu, maka ia akan kehilangan tenaga dan
hancur luluh badannya, sebab dari dalam cermin itu keluar semacam api.
Ketika kedua patih, Luwu dan Pembalah Batung
berhasil mencabut batung, seketika terbangunlah si penjaga batung, Patih
Ranggana suami isteri. Keduanya secara tidak sengaja memandang ke dalam cermin
yang dipegang oleh keempat patih yang lain, maka langsung jatuhlah ke bumi
kedua suami isteri penjaga batung itu. Berhasillah sudah tugas keenam patih
yang diutus Lambung Mangkurat dan mereka pun pulang kembali ke Candi Agung.
Selanjutnya pekerjaan membangun Mahligai Panca
Persada dilakukan. Tempatnya adalah di sebelah kanan dari Candi Agung, tepat di
tepi Danau Badarah. Sedangkan bagian yang membuat sarungnya dikepalai oleh
dayang-dayang, antara lain :
-Puteri Ajang Suri Parjang Suri.
-Puteri Ratna Masih.
-Puteri Ratna Biduri.
-Puteri Manik Saruntai.
-Puteri Gading Sepurus.
-Puteri Kertas Melayang.
-Puteri Mayang Segara.
Masing-masing dengan kelihaiannya, ada yang
menggilas, ada yang mehaniad, memukul, menasi, Menggintih, menenun, hingga
sampailah menjadi selembar sarung yang sangat indah dan diberi nama Tapih
Langgundi (Tapih Seri Gading).
Singkat waktu setelah mahligai dan sarungnya
sudah selesai, maka Lambung Mangkurat turun ke muara Ulak untuk menjemput Galuh
Cipta Sari, anak kecil yang mengadakan permintaan tersebut. Untuk memanggil
Galuh Cipta Sari dari dalam air diadakanlah radap sesajen, Dupa Astanggi
dibakar dan beras kuning ditaburkan. Tidak berapa lama kemudian muncullah anak
itu dari atas buih, lalu disambut dengan Tapih Langgundi (Tapih Seri Gading)
oleh Lambung Mangkurat sendiri dan dibawa naik ke atas Mahligai Punca Persada
dengan dikawal oleh dayang-dayang dan inang pengasuh. Maka disebutlah namanya
menjadi Puteri Junjung Buih.
---oo00oo---
Patih Lembu Jayawunagiri, saudara Lambung
Mangkurat, disebutkan mempunyai dua orang anak laki-laki kembar yang merupakan
hasil dari pertapaannya yang bernama Bambang Patma Raga dan Bambang Sukma Raga.
Setiap hari kedua-duanya bermain-main saja di bawah mahligai bersama
kawan-kawannya, yakni Pangeran Karijuddin, Pangeran Sebakung dan Puteri
Rumintik Intan.
Permainan yang mereka mainkan seperti main
kelereng, basungkut, balugu, bapisak dan mengadu ayam dengan masing-masing
kesukaannya. Ayam peliharaan pangeran berwarna putih, kaki kuning, sebagian
ekornya berwarna hitam dan alat menimangnya adalah alat kemudi dari besi.
Musuhnya adalah ayam merah dengan kaki berwarna kuning, mata kuning dengan alat
menimang adalah suraja. Namun ketika diadu, taji ayam yang berwarna putih patah
satu. Patahannya jatuh ke tanah di bawah mahligai dan tumbuh menjadi bambu
berduri berwarna kuning.
Kembali ke cerita Lambung Mangkurat yang
mengadakan acara gugudan di Candi Agung. Ia mengajak keponakannya menjaring
ikan ke teluk Gergaji di teluk bersaudara. Maka Bambang Patma Raga dan Bambang
Sukma Raga meminta ijin kepada kedua orangtuanya untuk ikut dengan pamannya
menjaring ikan ke laut. Ia memintan sepah atau sisa dari kinangan ibunya. Sepah
kinangan itu ditanam di sisi tangga rumahnya dan kemudian tumbuh menjadi bunga
melati. Apabila bunga melati itu gugur dan layu berarti ia tidak akan pulang ke
pangkuan ayah dan bundanya.
Sebelum berangkat keduanya dipeluk dan diciumi
oleh ayah dan bundanya. Kemudian keduanya mengiringi pamannya, Lambung
Mangkurat naik ke atas lanting atau rakit. Rakit itu kemudian hanyut mengikuti
arus sungai sampai ke Teluk Gergaji. Di sana Lambung Mangkurat melempar jaring
ke air, tapi sayangnya jaringnya tersangkut sesuatu di dalam air. Olehnya
disuruhnya kedua keponakannya untuk menyelam ke dalam air, mencari sebab
tersangkutnya jaring itu. Tunggu punya tunggu keduanya tidak muncul ke
permukaan air. Lambung Mangkurat kemudian pulang mengabarkan kejadian itu
kepada kedua orangtua anak-anak itu. Patih Mandastana dan isterinya jadi
bersedih mendengar berita itu karena kedua anaknya itu sedang lucu-lucunya.
Bambang Padma Raga dan Bambang Sukma Raga
sendiri sesampainya di dalam air disambut oleh kakeknya Batara Gangga dan
dibawa ke Negeri Gumilang Kaca. Keduanya kemudian menjelma menjadi makhluk
bawah air. Bambang Padma Raga menjelma menjadi seekor naga yang kemudian
tinggal di pusat air laut Sekaterah, sedangkan Bambang Sukma Raga menjelma
menjadi bulat seperti buah semangka dan diberi nama Surya Cipta.(hmb)
---oo00oo---
KETERANGAN GAMBAR KERIS NAGA RUNTING PATIH
PEMBALAH BATUNG...Bila di letak atas cermin akan memancar lima bayang.
Kasiatnya, musuh tidak akan dapat melihat pemilik keris (halimunan).
* Foto keris diambil dari fb hab13b queens..
* uln pun maambil sumber nang parak lawan makan Sultan Suriansyah..!! mudahan sidin ridha.. amiin.. :)
By : Hab13b Queens '