Jumlah

Kisah dari Khalifah ke-4, Suami dari Putri kesayangan Rasulullah


tentang membingkai perasaan dan Bertanggung jawab akan perasaan tersebut.“Bukan janji-janji”
Ali”bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW. Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Mekkah.
Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar. Nabi SAW memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi(derajat di sisi Allah).
Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600(perkiraan). 

Yang kedua, adalah sosok Fatimmah. Siapa yang tidak kenal dengan Fatimah,sang Putri Rasul? Walaupun gak pernah dijabarkan seperti apa rupanya,tapi jaminan mutu pasti cantik. Makanya ada satu untaian sholawat,yang namanya Sholawat Fatimah yg melukiskan kecantikan wajah fatimmah melebihi sinarnya bulan purnama ke-14. Limpahan dari cahaya di atas cahaya, itulah Fatimah binti Muhammad Rasulullah. Fatimah itu Puteri Rasululullh SAW yang notabene masih keturunan bangsawan. Logikanya,, kalo keturunan bangsawan itu, wajahnya bening-bening. Ibarat di jawa dipanggil dgn sebutan Nyi mas, Diadjeng dll. Kalo di Banjar mungkin disebut…Galuh,..Diang,…kalo di sumatera mungkin lain lagi. Nah,…. kalo di arab dikatakan bahwa Fathimah ini adalah keturunan bangsawan Arab? Untuk selingan aja dulu ya. Rasulullah itu tampan banget. Apalagi Putrinya..? hehehehe…

Ada rahasia terdalam di hati Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Sungguh lukisan seorang anak putrid yg sangat berbakti kepada bapaknya, kepada orang tuanya.

Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Fatimmah bergumam marah. Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fatimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Fatimah Marah,..marah besar yg menyebabkan mulut-mulut para lelaki bungkam terkunci seribu bahasa….Mengagumkan!...(hehehe. kira2 bs ada ne ilmu bungkam fatimmah gasan mambungkam mulut lalakian)
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.

”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali. Hancur hatikau kata Ali…tp mo gmn lagi..?

Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.

’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku harus rela, aku harus ikhlas. aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.” Bukan atas kebahagiaanku sendiri.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Syukur-syukur hatinya sayidina Ali tidak spt judul lagu “Layu sebelum berkembang” …mmmmhh…masih ada tunas harapan dihatinya.

Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah,… ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.

’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha…..ujar sayidina Ali,..aku ni apa ada….urang hina pang…kdd nang kubanggakan amun dibanding sayidina Umar dan Abu Bakar.
Nasiiib ujar Ali…”

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.
Yang ini pengorbanan.

Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruak kembali. Lamaran ’Umar ternyata juga ditolak. Lalu sayidina Ali bergumam….”mmmmh,…Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.

”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”___Ali,..Knp kada ikam haja nang maju” sebelum janur kuning melengkung, sebelum kursi pelaminan dipasang dan sebelum tenda biru dipajang…be arti masih balum jd hak siapa2…
Kira-kira kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan si sayidina Ali. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. ”

”Aku?”, zAli balik bertanya. tanyanya tak yakin, tp seolah2 ada setitik harapan.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”..aku ni ujar Ali, kere, duit kdd baisi,..harta kdd,..kdd nang di andalkan kacuali hampadal wara… 
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi suci Rasulullah Muhammad saw.

Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.

”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan “Ahlan wa Sahlan kawan”! Dua-duanya berarti ya !”

Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang, kata Rasulullah.

Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.

’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel-yel kepada sayidina , “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.

Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda ”

‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”

Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”

Ternyata memang dari dulu Fatimah sudah mempunyai perasaan dengan Ali dan menunggu Ali untuk melamarnya. Begitu juga dengan Ali, dari dulu dia juga sudah mempunyai perasaan dengan Fatimah. Tapi mereka berdua sabar menyembunyikan perasaan itu sampai saat nya tiba, sampai saatnya ijab Kabul disahkan. Walaupun Ali sudah merasakan kekecewaan 3 kali keduluan orang lain, akhirnya kekecewaan itu terbayar juga.

intinya“Jodoh memang tidak kemana” tp yg namanya rasa… “Cinta itu, mengambil kesempatan, atau mempersilakan yang lain”. Saran saya, gunakanlah motto ini dalam kehidupan anda, hehee, biar ga keduluan orang lain, khan sayanggggg..kalau kita jatuh cinta kpd seseorang, tp Cuma dipendam, malu tuk mengutarakan, akhirnya resikonya bs keduluan orang lain”…mmmmHHh..nasib..”

________________________________________

Menyimak Kisah cinta Ali bin Abi thalib dan Fathimah Azzahra adalah salahsatu kisah cinta yang penuh romantika dan keberkahan dari Allah. Bahkan Rasulullah pernah bersabda " Allah menyuruh menikahkan Fatimah dengan Ali " (Diriwayatkan oleh Thabrani).
Sosok Ali adalah lelaki sebenarnya, sifat baiknya melebihi matahari waktu dhuha. Menyibak semua masalah. Istananya hanya gubuk tua. Pedang berkilau harta kekayaannya. Begitulah seorang pujangga menggambarkan sosok Ali dalam syairnya.

Sementara Fatimah Azzahra adalah teladan bagi wanita. Ayahnya adalah manusia terbaik yang diciptakan Allah sebagai rahmat bagi alam semesta, dan Ibunya adalah sebaik-baik wanita..Setiap langkahnya selalu memancarkan cahaya.

Saat meminang Fatimah, Ali menjual sebagian barang miliknya, termasuk rompi perang. Inilah yang menjadi mas kawin Ali kepada Fatimah. Semuanya bernilai 480 dirham. Dari jumlah itu, Rasulullah menyuruh menggunakan 2/3 nya untuk membeli wangi-wangian dan 1/3 nya untuk membeli pakaian.

Kehidupan rumah tangga mereka sangat sederhana. Sebuah rumah tanpa perabotan apapun. Hanya beralas tidur kulit domba, satu bantal berisi serabut korma. Bahkan Fatimah pernah menggadaikan kerudungnya kepada seorang Yahudi Madinah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Namun Maha Suci Allah yang telah menjaga kebersihan rumah tangga Fatimah secara fisik dan ruhani.

Ali ra. berkata, " Aku menikah dengan Fatimah. Kami tidak memiliki alas tidur kecuali selembar kulit domba. Malam hari kami pergunakan sebagai alas tidur dan siang harinya kami jemur. Kami tidak memiliki pembantu, pekerjaan rumah tangga ditangani oleh Fatimah. ketika Fatimah pindah kerumahku, Rasulullah membawakan selimut, bantal kulit berisi serabut kurma, dua gilingan tepung, satu gelas, dan kantong susu. Saking seringnya menggiling tepung, sampai berbekas pada tangan Fatimah, dan saking seringnya membersihkan rumah sehingga pakaiannya penuh debu, dan saking seringnya menyalakan tungku sampai pakaiannya penuh arang " (dikutip dari 35 Shiroh Shahabiyah, Mahmud Al-Mishri)

Rasulullah SAW memberikan perhatian yang tinggi agar setiap istri berkhidmat dan berbakti dgn kataatan yang tulus dari hati kepada suaminya, seperti nasihat beliau kepada Fatimah. Beliau bersabda :

" Wahai Fatimah, wanita yang membuat tepung untuk suami dan anak-anaknya, Allah pasti menetapkan pada saat setiap biji tepung itu, kebaikan, menghapus kejelekannya dan meningkatkan derajatnya"

" Wahai Fatimah, yang lebih utama dari seluruh keutamaan yang di sebutkan di atas adalah keridhaan suami atas istrinya. Andaikan suamimu tidak meridhoimu, maka aku tidak akan mendoakanmu. Ketahuilah wahai Fatimah bahwa kemurkaan suami adalah kemurkaan Allah Ta'ala."

"Wahai Fatimah, tidaklah wanita berkhidmat dan berbakti melayani suaminya sehari semalam dengan rasa suka dan penuh keikhlasan serta niat yang benar, melainkan Allah mengampuni dosa-dosanya dan memakaikan kepadanya pada hari kiamat dengan pakaian yang hijau gemerlap, dan menetapkan baginya setiap rambut di tubuhnya seribu kebaikan, dan Allah memberinya pahala seratus ibadah haji dan umrah."

"Wahai Fatimah tidaklah wanita yang tersenyum kepada suaminya, melainkan Allah akan memandangnya dengan pandangan kasih sayang."

" Wahai Fatimah, tidaklah wanita yang membentangkan tempat tidur untuk suaminya dengan senang hati, melainkan malaikat pemanggil dari langit akan menyerunya untuk menghadapi amalnya dan Allah mengampuni dosanya yang sudah lalu dan akan datang"

" Wahai Fatimah, tidaklah seorang wanita yang meminyaki rambut serta janggut suaminya, dan mencukur kumisnya dan memotong kukunya, melainkan Allah memberikan kepadanya arak yang masih tertutup, murni dan belum terbuka dari sungai-sungai dalam surga Allah. Allah akan mempermudah sakaratul mautnya, kuburnya akan ditemui sebagai taman-taman surga. Dan Allah menetapkan baginya bebas dari neraka dan dapat melewati shirat."

Ibnu Mas'ud ra, berkata, Nabi SAW bersabda : " Apabila seorang perempuan mencucikan pakaian suaminya, maka Allah mencatat baginya seribu kebaikan dan mengampuni kesalahannya bahkan segala sesuatu yang disinari oleh matahari memintakan ampunan baginya, serta Allah mengangkat 1000 derajat baginya "

Salman Al Farisi meriwayatkan, bahwa suatu ketika Fatimah ra. berkunjung kepada Rasulullah. Ketika Rasulullah SAW melihatnya, kedua mata Fatimah mencucurkan air mata dan roman mukanya berubah. Kemudian Nabi SAW bertanya : " Mengapa engkau hai anakku?" Fatimah ra. menjawab : " Wahai Ayahku, tadi malam aku dan Ali bergurau, dan timbul percakapan yang menyebabkan dia marah kepadaku, karena kata-kata yang terlontar dari mulutku. Ketika aku melihat bahwa Ia marah, aku menyesal dan merasa susah, kemudian aku berkata kepadanya :
" Wahai kekasihku, kesayanganku, relakanlah akan kesalahanku, seraya aku mengelilinginya dan merayunya sebanyak tujuh puluh dua kali, sehingga dia menjadi rela dan tertawa kepadaku dengan segala kerelaannya, sedang saya tetap merasa takut kepada Tuhanku "

Rasullullah bersabda kepada Fatimah ra " Hai anakku , demi Dzat yang telah mengutusku sebagai Nabi dengan dien yang benar, sesungguhnya jika sekiranya engkau mati sebelum Ali rela kepadamu, maka aku tidak akan menshalati mayatmu. " Kemudian beliau bersabda lagi :
" wahai anakku tidakkah engkau mengetahui bahwa kerelaan seorang suami itu merupakan kerelaan Allah dan kemarahan seorang suami itu juga merupakan murka Allah. Wahai anakku, seorang wanita yang beribadah betul-betul seperti ibadahnya Maryam putri Imran, lalu suaminya tidak rela kepadanya, maka Allah tidak akan menerima (ibadahnya). Wahai anakku amal yang paling utama bagi para wanita ialah ketaatan kepada suaminya dan sesudah itu tidak ada lagi amal yang paling utama daripada bercumbu (dengan suami). Wahai anakku, duduk satu jam dalam bercumbu dengan suami, lebih baik bagi mereka daripada ibadah satu tahun, dan dicatat tiap-tiap pakaian yang dikenakan pada waktu bercumbu, seperti pahalanya seorang mati syahid. Wahai anakku, sesungguhnya seorang wanita jika bercumbu sehingga memakaikan pakaian untuk suami dan anak-anaknya, maka sudah pasti baginya syurga dan Allah memberikan kepadanya tiap-tiap yang dikenakan dari beraneka pakaian dan sebuah kota di surga."
Semoga menjadi contoh suri tauladan kita,..
Amin..”


 By : Hab13b Queens 
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar